Saat itu usiaku masih belia sekali untuk ukuran perkotaan, 14 tahun. Pertemuanku dengan seorang laki-laki di daerahku membuatku jatuh cinta, cinta pertamaku, sebaliknya dia pun demikian. Dia sering menungguku saat aku pulang dari sekolah. Cinta pun bersambut, kami sering bertemu. Ada rasa rindu bila sehari tak bertemu. Hubungan kami semakin erat. Mulai mencoba-coba berciuman. Aku ingat selalu saat pertama kali kami berciuman. Rasanya tidak dapat dilupakan hingga kini. Karena terlalu mabuk asmara hingga aku lupa akan mana yang patut dan mana yang tidak, dan itu menyebabkan aku hamil.
Hingga suatu saat aku menerima kabar bahwa dia mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, dan tak dapat diselamatkan. Sangat sedih rasanya hatiku saat itu, sedih yang tak terlukiskan. Aku sudah tidak gadis lagi, apalagi saat itu aku sudah berbadan dua. Bahkan kata saudaraku, aku sempat pingsan berkali-kali, gelap rasanya dunia saat itu, dua hal besar yang membuatku berpikir saat itu bahwa aku kehilangan seorang yang kucintai dan kehamilanku. Apakah aku harus menanggung semua perbuatan tersebut seorang diri? Saat menghadiri pemakamannya ingin rasanya aku terjun di dalam lubang kubur, ingin menyusulnya.
Setelah itu aku mengalami kesedihan yang berlarut-larut, sakit rasanya ditinggal pergi seorang yang kita cintai terlebih ditinggal mati dan secara tiba-tiba. Bila kita diputus pacar mungkin dapat terobati dengan masih bisa kita melihatnya walaupun sudah dimiliki oleh orang lain, tetapi bila telah beda alam, bagaimana mau melihatnya? Kadang ingin rasanya bertemu dalam mimpi untuk mengobati rindu, sekali saja, tetapi semakin aku inginkan malah semakin sulit untuk tidur.
Lama aku mengalami kesedihan, hingga akhirnya aku ditegur oleh orangtuaku. Untuk menutupi rasa kesedihanku aku dinikahkan oleh orangtuaku. Saat aku menemui calon suamiku, aku tidak ada rasa apapun terhadapnya. Aku menyadari kalau ini bukan kemauannya juga, dia hanya sekedar membantuku agar melupakan kesedihanku.
Akhirnya aku melakukan perjanjian dengannya sebelum ke jenjang pernikahan, yang berisi bahwa kamu bisa menikmati seluruh tubuhku tapi jangan harap kamu mendapatkan cintaku dan aku ingin pernikahan ini tidak berlangsung lama, seandainya aku hamil, aku ingin dia segera menceraikanku begitu anakku lahir, dan jangan mencariku, bila anakku menanyakan bapaknya akan aku jawab bahwa dia telah meninggal. Jadi jangan cari aku dan jangan cari anaknya, dia tidak mengetahui bahwa aku sedang hamil benih cinta dari pacar pertamaku.
Perjanjian dia terima, maklum saat itu aku lagi mekar-mekarnya, banyak juga yang menginginkanku. Sementara dia tanpa bersaing hanya dengan penunjukkan langsung, mendapatkan diriku, oleh sebab itu dia segera menerima perjanjian tersebut. Mungkin dalam benaknya buat apa cinta yang penting dia mendapatkan tubuhku serta memenangkan perebutan diriku.
Dengan upacara pernikahan yang sangat sederhana sekali jadilah kami sepasang suami istri. Seperti layaknya sepasang pengantin kami pun mengalami yang namanya malam pertama tetapi tak seindah yang kubayangkan, hanya semu karena memang tanpa didasari rasa cinta yang menyatu. Selanjutnya kehidupan kami pun tak jauh beda dengan rumah tangga yang lainnya. Hingga aku beritahukan kepada suamiku bahwa aku hamil. Dia menanggapi dengan dingin, mungkin dia tahu bahwa benih di perutku bukan dari dia.
Setelah kandunganku sudah mencapai harinya, persalinan telah selesai. Aku mendapatkan seorang bayi laki-laki, di usiaku yang ke 16. Setelah masa nifasku selesai, aku menagih janji pada suamiku. Dia tanpa rasa sedih sedikitpun segera memproses perceraianku. Orangtuaku menanyakan sebabnya, karena kami sudah ada kesepakatan dari awal sebelum pernikahan maka kami melakukan sandiwara agar tujuan perceraian tercapai, akhirnya mereka menerima. Jadilah aku seorang janda dengan seorang bayi laki-laki di usia yang masih muda, hampir 17 tahun.
Mengapa aku memilih seperti ini? Karena buat apa kita hidup bersama dengan orang yang tidak kita cintai. Sementara bayiku merupakan bagian dari hidupku, karena dari benih orang yang sangat kucintai. Aku tetap masih mengenang pacarku yang telah mendahuluiku, darinya lah aku mengenal cinta, yah cinta pertamaku, cinta sejatiku, dan aku masih merasa tetap sebagai kekasihnya walaupun telah berbeda alam.
Setelah aku merasa sudah agak pulih, aku mulai mencoba kerja di pabrik di daerahku, saat itu usiaku menginjak usia 17 tahun lebih. Selama menjadi janda dan pengangguran, untuk sementara aku dibantu oleh kakakku. Kerja di pabrik ternyata lumayan juga, capeknya. Belum ada setahun kerja di pabrik, aku ditawari temanku untuk kerja di Jakarta, tanpa pikir panjang segera aku terima, bayiku aku titipkan pada kakakku.
Pekerjaan di Jakarta yang aku terima sebagai pramuniaga, cukup lama aku bekerja di sini hingga usiaku hampir 19 tahun. Gaji yang kuterima lebih besar dari kerja di pabrik di desaku, tetapi pengeluaranku juga lumayan besar di Jakarta, hingga uang yang aku kirimkan ke desa untuk anakku tidak begitu beda hanya lebih beberapa puluh ribu rupiah saja. Beberapa bulan kemudian temanku yang mengajakku ke Jakarta pindah kerja, tinggallah aku di Jakarta seorang diri, tanpa teman dan saudara.
Suatu hari aku mendapatkan berita bahwa anakku sakit hingga aku harus pulang ke desa. Setelah anakku sembuh aku kembali ke kota, ternyata posisi pekerjaanku telah diisi orang lain dan aku sudah tidak dibutuhkan lagi, sedih sekali rasanya. Aku mencari teman sedesaku yang dulu mengajak ke Jakarta untuk menanyakan apakah ada pekerjaan untukku. Setelah bertemu dia. Dia mengajak bekerja di tempatnya yaitu sebuah tempat pijat. Dia menerangkan pekerjaan yang dia lakukan, juga mempraktekkan langsung ke diriku di tempat kost-annya.
Setelah aku pertimbangkan, hanya seperti itu, yah aku terima. Tanpa menggunakan surat dan Ijazah, aku diterima dan langsung kerja.
Hari pertama, aku kerja, kikuk juga, tadi sih praktek di kamar belakang bisa, sekarang sudah masuk kamar, bingung juga, beruntung aku mendapatkan tamu pertama yang pengertian. Dia memang bertujuan hanya pijat, nggak tahu apakah dia menyenangkan diriku, dia bilang pijatanku enak dan setelah selesai aku menerima uang tips. Enak juga kerja tidak begitu capek tetapi dapat uangnya lumayan, tidak seperti jadi pramuniaga, berdiri terus menerus selama delapan jam yang hanya diberi waktu istirahat satu jam.
Tamu ke dua, mulai meraba-raba, aku tidak sanggup menerimanya hingga kuberikan ke temanku yang lain, senang sekali temanku menerimanya. Aku hanya mau tamu yang hanya membutuhkan pijat saja. Hari berganti hari, akhirnya aku tahu seperti apa tempat kerjaku. Kalau mau dapat uang banyak yah harus berani.
Kata temanku di sini tak ada cinta, yang ada hanya uang. Jangan jatuh cinta dengan tamu. Tetapi puaskanlah tamu, buat agar segera selesai, bayar dan selesai. Merinding aku mendengarkannya. Memang sih tamunya dia banyak sekali. Jangan lihat wajahnya, mau cakep mau jelek yang penting bayar, katanya lagi. Di sini orang cakep tidak laku katanya, yang punya uang yang laku. Dia menunjukkan uang tips yang dia dapat hari ini, dia telah mendapatkan tamu sebanyak lima orang, dua ratus ribu rupiah satu orang, dipotong biaya harian (jajan + main kartu/iseng nunggu tamu + rokok + ngasih roomboy) paling tidak sembilan ratus ribu bersih dibawa pulang dalam sehari sehingga dalam sebulan pendapatan bersihnya rata-rata mencapai dua belas juta rupiah bersih tanpa dipotong pajak penghasilan 21, itu telah dikurangi beberapa hari tidak kerja karena datang bulan.
Kalau aku perhatikan memang sih di sini tak ada cinta, tetapi tetap aja ada rasa cemburu bila tamunya beralih ke orang lain, bukan cemburu karena cinta tetapi karena pendapatannya beralih ke orang lain. Banyak juga yang menjatuhkan orang lain, baik yang secara terang-terangan maupun yang terselubung.
Ada yang bilang ke tamu kalau si ini, si itu, habis sakit phs lah. Ada yang melakukan operasi plastik untuk menutupi kekurangannya, ada yang memasang susuk di tubuhnya, bahkan ke klitnya. Biar laris katanya.
Suatu saat tamu pertamaku dulu ingin bersamaku lagi, karena rindu dengan pijatanku. Oleh karena pernah bertemu dengannya aku sudah tidak kagok lagi, selain itu aku suka dengannya karena sopan, tidak meraba-raba diriku. Aku sih niatnya memang bekerja yakni memijat, karena seragamku memang menggunakan rok mini hingga pahaku bersinggungan dengan pantatnya; posisi dia telungkup dan aku memijat dengan menduduki pantatnya. Nah saat dia telentang nampak penisnya yang sudah membesar, aku tidak perduli, kututupi dengan handuk kecil yang tersedia, aku tetap melakukan pijatan di kaki dan tangannya serta sedikit di bagian perut.
Hingga akhirnya dia memohon dengan sangat, untuk menolongnya mengeluarkan desakan nafsu yang sudah memuncak dengan cara memasturbasi kemaluannya. Pertama aku jawab bahwa aku tidak dapat melakukan hal itu, kemudian aku diajari olehnya hingga dia ejakulasi dan aku mendapatkan uang tips yang lumayan besar.
Akhirnya aku sudah mendapatkan pola kerja, bila tamu ingin main maka aku berikan kepada temanku, bila hanya sekedar pijat aku kerjakan, yah maksimal aku pijat kemaluannya hingga ejakulasi. Lumayan tips yang kudapat dalam satu minggu sama dengan satu bulan kerja sebagai pramuniaga.
Nampaknya bapak yang pertama kupijat itu sudah menjadi langganan tetapku. Pernah dia meminta ijinku, bila aku tak keberatan, ingin rasanya dia memegang tubuhku, pertama sih kutolak, tetapi melihat tingkah lakunya yang sopan dan selalu memberikan uang tips yang lumayan, maka kuijinkan dia meraba tubuhku, dengan syarat aku masih berpakain lengkap; ada juga sih rasa takut kehilangan pelanggan sebaik dia, mengingat persaingan yang sangat besar, anehnya dia tidak mau dengan pemijat lain kecuali dengan diriku.
Pada pertemuan yang kesekian kalinya, dia sudah dapat meraba payudaraku juga kemaluanku, terus terang aku tidak dapat menolak permohonannya yang selalu dikatakan di saat kami bertemu, rayuannya yang membuatku terkadang lupa diri, selain itu uang tips yang kudapatkan juga semakin besar, dan yang tak dapat kuhindari adalah bahwa aku juga memiliki kebutuhan itu, aku tidak munafik, karena aku telah menjanda selama hampir tiga tahun. Asli, itulah pertama kalinya aku merasakan basahnya kemaluanku setelah sekian lama tidak merasakannya, belum lagi resiko pekerjaan yang sehari-hari kuhadapi adalah melihat bahkan memegang kemaluan yang membesar yang menuntut untuk dikeluarkan "isinya".
Hingga si bapak mengetahui kisahku, karena setiap selesai pijat, dia selalu memuaskan diriku dengan jemarinya yang lincah hingga dia sendiri ejakulasi juga, dan dilanjutkan dengan membicarakan masalahku terkadang juga masalah si bapak. Si bapak terkejut melihat perjalanan hidupku seperti itu, yang akhirnya dia memelukku. Ohh rasanya, sudah lama aku tidak dipeluk kaum pria, sepertinya ada perasaan yang pernah hilang, yaitu perasaan dilindungi, rasa aman.
Tak berapa lama bibir kami telah saling bertaut, aku suka cara dia menciumku. Dia dapat membangkitkan gejolak birahiku yang lama padam. Mungkin aku sudah terbawa derasnya arus nafsuku tanpa terasa tidak tahu bagaimana caranya si bapak hingga aku menjadi telanjang bulat. Dengan kesabarannya dia mencium bibirku hingga aku hampir tak bisa bernafas, dan mulai turun ke arah leherku, rasa geli campur nikmat berbaur menjadi satu, aku mencari-cari sekiranya ada pegangan yang dapat kuraih untuk menjadi pegangan karena rasa takut jatuh yang amat sangat, iya jatuh ke dalam jurang kenikmatan, paling tidak untuk membuktikan pada diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi, ini adalah kenikmatan nyata, bukan virtual.
Sprei tempat tidur sudah jatuh ke lantai akibat rontaan kakiku dan kakinya yang bergerak, seperti sedang mendaki bukit, bukit kenikmatan, akibatnya hanya tinggal kasur pegas yang dibungkus bahan seperti kulit yang menjadi licin oleh keringat kami berdua. Aku tetap berusaha mencari pegangan itu, dan kudapatkan kepala si bapak, kuusap rambutnya yang terkadang kujambak karena saking nikmatnya hisapan mulutnya yang melumat kedua payudaraku.
Ciuman bapak semakin turun dan mencapai daerah kemaluanku, aku malu bila kemaluanku dilihat secara dekat, bukan dikarenakan bentuknya yang jelek atau adanya beberapa bekas luka yang hampir hilang di pangkal paha dekat lubang anusku, tetapi aku mengalami basah yang lumayan banyak semenjak kami berciuman, saat itu aku memang lagi nafsu-nafsunya, jadi aku malu bila dia mengetahui bahwa aku benar-benar terangsang. Kututup kemaluanku dengan kedua belah telapak tanganku.
Bersambung . . . .
No comments:
Post a Comment